Selasa, 14 Juni 2016

Mudharabah, musaqah, muzara’ah, mukhabarah dan syirkah dalam islam




Mudharabah, musaqah, muzara’ah, mukhabarah dan syirkah dalam islam
1.      Mudharabah
A.    Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata al-dharab, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Selain al- dharab disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardha , berarti al-qath’u ( potongan) karena pemilik memotong sebagian hartnya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Jadi menurut bahasa mudharabah berarti ( potongan ), berjalan, dan berpergian.
Menurut istilah mudharabah dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut :
a.       Menurut para fugaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak ( orang ) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartnya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan.
b.      Menurut Hanafiyah, mudharabah ialah memandang tujuan dan pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelolah harta itu.
c.       Menurut Malikiyah , mudharabah adalah “akad perwakilan’’, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan.
d.      Menurut imam hanabila berpendapat bahwa mudharabah yaitu, ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.
e.       Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah, akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.
B.     Hukum Mudharabah dalam islam
Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:
a) Al-Qur’an:
 Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)
b)  Al-Hadits:
1. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111)).
2. Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
c) Ijma:
Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136)). Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’. (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily,  4/838).
d) Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
e)  Kaidah fiqih:  “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
C.     Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama syafi’iyah, rukun -rukun qiradh ada enam, yaitu :
1.      Pemilik barang yang meyerahkan barang -barangnya
2.       Orang yang bekerja, yaitu mengolah brang yang diterima dari pemilik barang
3.      Akad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan mengelolah barang
4.      Mal, yaitu harta pokok atau modal
5.      Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga meghasilkan laba
6.      Keuntungan
Menurut sayyid sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan Kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.
Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri, syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut :
1)      Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai.
2)      Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf.
3)      Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
4)      Keuntungan yag telah menjadi milik pengelolah dan pemilik modal harus jelas persentasenya.
5)      Melafazkan ijab dari pemilik modal.
6)      Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelolah harta untuk berdagang dengan negara tertentu.
D.    Kedudukan Mudharabah
Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudaharabah ( qiradh ) juga tergantung pada keadaan. Karena pengelolah modal perdaganagn mengelolah modal tersebut atas izin pemilim harta, maka pengelolah modal merupakan wakil pemilik barang tersebut.dalm pengelolaannya dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah-alaih ( objek wakalah ).
Ditinjau dari segi akad mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Karena bersama-sama dalam keuntungan, sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah ( upah-mengupah atau sewa-menyewah ).
2.      Musaqah
A.    Pengertian Musaqah
Menurut istilah musaqah didefinisikan oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan Abdurrahman al-jaziri, sebagai berikut :
1.      Menurut Abdurrahman ialah akad untuk pemelihara pohon kurma, tanaman( pertanian ) dan yang lainnya dengan syarat-syarat terntetu.
2.      Menurut malikiyah, musaqah ialah sesuatu yang tumbuh di tanah
3.      Menurut syafi’iyah musaqah ialah memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaga dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.
4.      Menurut hanabilah, musaqah ialah mencakup dua masalah, yaitu
a)      Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanam, bagian dari buah pohon yang dimakan sebagian terntentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya, setengahnya.
b)      Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, yang menanam akan memperoleh bagaian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, maksudnya yang kedua ini disebut munasabah muqharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon untuk ditanamkannya.
Setelah diketahui definisi-definsi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan al-musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memilihara pohon, sebagai upahnya adalah buah yang urusnya.
B.     Dasar Hukum Musaqah
Dalam menentukan keabsahan akad musāqah dari segi syara’,terdapat perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail mereka berpendirian bahwa akad al-musāqāh dengan ketentuan petani penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena musāqāh seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu.
Musāqāh juga didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama), karena sudah merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu. hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2.
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba-hambanya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan meninggalkan kemungkaran. Dengan wujud saling tolong-menolong orang berilmu membantu orang dengan ilmunya, orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan.
C.     Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun-rukun musaqah menurut ulama syafi’iyah ada lima, yaitu :
1)      Sighat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelasdan dengan samara. Diisayaratkan sighat dengan lafazh dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
2)      Dua orang atau pihak yang berakad, diisyaratkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli ( mampu ) untuk mengelolah akad, seperti baliqh, berakal, dan tidak berada di bawah pengampun.
3)      Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh daparohkan ( bagi hasil ), baik yang berbuah tahunan mapun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti padi, jagung.
4)      Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang kan dikerjakan perti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan, dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun ialan menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang akan menghambat keseburan buah.
5)      Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing ( yang punya kebun, dan bekerja di kebun )seperti seperdua, sepertig, seperemapat, dan ukuran yang lainnya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah: a) Kedua belah pihak yang melakukan transaksi harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh) dan berakal. b)Objek musāqāh Objek musāqāh menurut ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah muta’akhkhirin menyatakan musāqāh juga berlaku atas pohon yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musāqāh adalah tanaman keras dan palawija, seperti anggur, kurma, dan lain-lain, dengan dua syarat:
1) Akad dilakukan sebelum buah itu layak dipanen;
2) Tenggang waktu yang ditentukan jelas;
3) Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh;
4) Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Objek musāqāh menurut ulama Hanabilah bahwa musāqāh dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan. Oleh sebab itu, musāqāh tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memeiliki buah. Sedangkan ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek akad musāqāh adalah kurma dan anggur saja.  Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar.
c)         Hasil yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga dan sebagainya.Shighat dapat dilakukan dengan jelas (shārih) dan dengan samaran (kināyah). Disyariatkan shighāt dengan lāfaẓ dan tidak cukup dengan perbuatan saja. Selain itu di dalam melakukan musāqāh disyaratkan terpenuhinya hal-hal sebagai berikut:
1)         Bahwa pohon yang di-musāqāh kan diketahui dengan jalan melihat, atau memperkenalkan sifat-sifat yang tidak bertentangan dengan kenyataan pohonnya. Karena akad dinyatakan tidak sah, untuk sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas.
2)         Bahwa masa yang diperlukan itu diketahui dengan jelas.Karena musāqāh adalah akad lazim yang menyerupai akad sewa-menyewa. Dengan kejelasan ini akan tidak ada unsur gharār.
3)         Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa menjelaskan masa lamanya, bukanlah merupakan syarat dalam musāqāh, tetapi sunnah, yang berpendapat tidak diperlukannya syarat ini adalah hiriyah. Menurut mazhab Hanafi bahwa manakala masa musāqāh telah berakhir sebelum masaknya buah, pohon wajib ditinggalkan/dibiarkan ada di tangan penggarap, agar ia terus menggarap (tetapi) tanpa imbalan, sampai pohon itu berbuah masak. Bahwa akad itu dilangsungkan sebelum nampak baiknya buah/hasil. Karena dalam keadaan seperti ini, pohon memerlukan penggarapan.
Adapun sesudah kelihatan hasilnya, menurut sebagian Ahli Fiqih adalah bahwa musāqāh tidak dibolehkan. Karena tidak lagj membutuhkan hal itu, kalaupun tetap  dilangsungkan namanya ijarah (sewa-menyewa), bukan lagi musāqāh Namun, ada pula yang membolehkannya sekalipun dalam keadaan seperti ini. Sebab jika hal itu boleh berlangsung sebelum Allah menciptakan buah, masa sesudah itu tentu lebih utama. Bahwa imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah itu diketahui dengan jelas. Misalnya separuh atau sepertiga. Kalau dalam perjanjian ini disyaratkan untuk si penggarap atau si pemilik pohon mengambil hasil dari pohon-pohon tertentu saja, atau kadar tertentu, maka musāqāh tidaksah. Apabila satu syarat dan syarat-syarat ini tidak terpenuhi, akad dinyatakan fāsakh dan musāqāh menjadi fāsad.
3.      Muzara’ah dan Mukhabarah
A.    Pengertian muzara’ah
Menurut bahasa al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti ( melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal. Secara istilah Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, tetapi pada umumnya paroan sawah atau fifty-fifty untuk pemilik tanah dan penggarap tanah.
Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, Muzara’ah adalah pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2 , 1/3 atau kurang atau lebih menurut pesetujuan bersama. Dalam kitab al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sunah Rasul menunjukan dua hal tentang makna Muzara’ah yakni pertama; kebolehan bermuamalah atas pohon kurma / diperbolehkan bertransaksi.
 Atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya pohon kurma telah ada baru kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk dirawat sampai berbuah. Namun sebelumnya kedua belah pihak (pemilik kebun dan pekerja) harus dulu bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian buah untuk pemilik kebun sedang sebagian yang lain untuk pekerja. Kedua; ketidakbolehan Muzara’ah dengan pembagian hasil 1/4 dan 1/3 atau sebagian dengan sebagian. Maksudnya adalah menyerahkan tanah kosong dan tidak ada tanaman didalamnya kemudian tanah itu ditanami tanaman oleh (penggarap) dengan tanaman lain.
Menurut istilah, muzara’ah dan mukhabarah didefinisikan oleh para ulama, seperti yang dikemukakan oleh abd al-rahman al- jaziri, sebagai berikut :
1)      Menurut hanafiyah, muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.
2)      Menurut hanabilah, muzara’ah ialah  : pemilik tanah yang sebenar nya menyerahkan tanah untuk di Tanami dan yang berkerja di beri bibit
3)      Menurut malikiah muzara’ah ialah : bersekutu dalam akad dengan maksud menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan atau barang berdagangan
4)      Menurut dhahir nash al-syafi’I berpendapat bahwa mukharabah ialah menggarap atanah dengan apa yang dkeluarkan dari tanah tersebut.
5)      Menurut syaikh irahim al-bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah sesungguhnya pemilik hanya menyerahakan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelolah.
Dan hasil definisi-definsi bahwa muzara’ah dan mukhabarah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelolah. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelolah disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
B.     Dasar Hukum Mukhabarah Dan Muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulam dalam menentaokan hukum mukharabah dan muzara’ah adalah menurut syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah beralasan dengan hadis. Menurut pengarang kitab al-minhaj bahwa mukharabah, yaitu mengerjakan tanah ( menggarap ladang atau sawah ) dengan mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak boleh pula muzara’ah, yaitu pengolah tanah yang beberapa shahih, antara lain, tsabit ibn dhahak , karena mengingat akibat buruk sering terjadi ketika berbuah.
C.     Rukun-rukun dan syarat-syaratnya
Menurut hanafiyah , rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci , jumlah rukun-rukun muzara’ah menurut hanafiyah ada empat, yaitu :
1)      Tanah
2)      Perbuatan pekerja
3)      Modal
4)      Alat-alat untuk menanam
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut :
1.      Syarat yang bertalian dengan aqidain, yaitu harus berakal
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu :
a)      Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya(persentasenya ketika akad )
b)      Hasil adalah milik bersama
c)      Bagian antara amil dan malik adalah salah satu dari jenis barang yang sama.
d)     Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e)      Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu a) tanah tersebut dapat ditanami. b) tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5.      Hal yang berkaitan dengan waktu, syaratnya adalah a) waktu yang telah ditentukan, b) waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman.
Menutut hanabilah rukun muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan Kabul,boleh dilakukan dengan lafazh apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan Kabul dan bahkan muzara’ah dilafazhkan dengan lafazh ijarah.
4.      Syirkah dalam Islam
A.    Pengertian Syirkah
Pengertian syirkah dalam Islam Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih hingga tidak dapat dibedakan lagi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
B.     Rukun dan Syarat Syirkah
Secara garis besar, terdapat tiga rukun syirkah sebagai berikut. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Persyaratan orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta). Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun persyaratan pekerjaan atau benda yang boleh dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan. Akad atau yang disebut juga dengan istilah shigat. Adapun syarat sah akad harus berupa tasharruf, yaitu harus adanya aktivitas pengelolaan.
C.     Macam-Macam Syirkah
Syirkah terbagi menjadi 4 macam, yaitu :
1) Syirkah ‘Inan Syirkah ‘inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah dalam Islam hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat. Contoh syirkah ‘inan dapat kita cermati sebagai berikut : Pengertian Syirkah dalam Islam Fahmi dan Syahmi adalah sarjana-sarjana teknik informatika. Fahmi dan Syahmi bersepakat menjalankan bisnis jasa perancangan dan pembangunan sistem informasi untuk organisasi-organisasi pemerintahan atau swasta. Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar Rp20 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara barang seperti rumah atau kendaraan yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan yang dilakukan sebelumnya dan kerugian ditanggung oleh masing-masing syarik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing-masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
2) Syirkah ‘Abdan Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa memberikan kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) maupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal. Contoh Syirkah ‘abdan : Udin dan Imam sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: Udin mendapatkan sebesar 60% dan Imam sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian antara keduanya, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah diatur sebelumnya, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha).
3) Syirkah Wujuh Syirkah wujuh merupakan kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan adanya pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal). Contoh Syirkah wujuh : Andri dan Rangga adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu Andri dan Rangga bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. Andri dan Rangga bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujuh ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.
 4) Syirkah Mufawadhah Syirkah mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di atas. Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufawadhah, atau ditanggung oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujuh. Contoh Syirkah mufawadhah : Adha adalah pemodal, berkontribusi modal kepada Fahmi dan Syahmi. Kemudian, Fahmi dan Syahmi juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada Fahmi dan Syahmi. Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika Fahmi dan Syahmi sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja. Namun, ketika Adha memberikan modal kepada Fahmi dan Syahmi, berarti di antara mereka bertiga terwujud mudharabah.
 Di sini Adha sebagai pemodal, sedangkan Fahmi dan Syahmi sebagai pengelola. Ketika Fahmi dan Syahmi sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inan di antara Fahmi dan Syahmi. Ketika Fahmi dan Syahmi membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara Fahmi dan Syahmi. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufawadhah.







BAB 111
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil pembahsan di atas, menyatakan bahwa dalam fiqih muamalah menjelaskan tentang persoalan-persoalan yang berkenan dengan hubungan manusia antarmanusia. Dan juga hukum jual beli dan macam-macam jual beli, seperti, yaitu mudharabah,musaqah, muzara’ah mukhabarah dan syirkah dalam islam.
Mudharabah berasal dari kata al-dharab, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Selain al- dharab disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardha , berarti al-qath’u ( potongan) karena pemilik memotong sebagian hartnya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Jadi menurut bahasa mudharabah berarti ( potongan ), berjalan, dan berpergian.
dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan al-musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memilihara pohon, sebagai upahnya adalah buah yang urusnya.
Dan hasil definisi-definsi bahwa muzara’ah dan mukhabarah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelolah. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelolah disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
Pengertian syirkah dalam Islam Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih hingga tidak dapat dibedakan lagi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.

DAFTAR PUSTAKA
Kasmir ,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo      Persada, 2002
Suhendi Hendi,fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali pers, 2014
Al-Jaziri,  Abdurrahman, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Beirut:  Darul Fikr,1996