Mudharabah, musaqah, muzara’ah, mukhabarah dan syirkah dalam islam
1.
Mudharabah
A.
Pengertian
Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata al-dharab, yang berarti secara harfiah
adalah bepergian atau berjalan. Selain al- dharab disebut juga qiradh yang
berasal dari al-qardha , berarti al-qath’u ( potongan) karena pemilik memotong
sebagian hartnya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Jadi menurut bahasa mudharabah berarti ( potongan ), berjalan, dan berpergian.
Menurut
istilah mudharabah dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut :
a.
Menurut para
fugaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak ( orang ) saling menanggung,
salah satu pihak menyerahkan hartnya kepada pihak lain untuk diperdagangkan
dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan.
b.
Menurut
Hanafiyah, mudharabah ialah memandang tujuan dan pihak yang berakad yang
berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain
dan yang lain punya jasa mengelolah harta itu.
c.
Menurut
Malikiyah , mudharabah adalah “akad perwakilan’’, dimana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan.
d.
Menurut imam
hanabila berpendapat bahwa mudharabah yaitu, ibarat pemilik harta menyerahkan
hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari
keuntungan yang diketahui.
e.
Ulama
syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah, akad yang menentukan seseorang
menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.
B.
Hukum
Mudharabah dalam islam
Mudharabah
hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:
a)
Al-Qur’an:
Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada
di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang
berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)
b) Al-Hadits:
1. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin
Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan
tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika
persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau
membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111)).
2. Shuhaib
radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung
berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR.
Ibnu Majah)
c)
Ijma:
Para
ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya
Ibnu Rusyd (2/136)). Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang,
mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun
mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’. (al-Fiqhu
al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily, 4/838).
d)
Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
e) Kaidah fiqih: “Pada dasarnya, semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
C.
Rukun dan
Syarat Mudharabah
Menurut
ulama syafi’iyah, rukun -rukun qiradh ada enam, yaitu :
1.
Pemilik barang
yang meyerahkan barang -barangnya
2.
Orang yang bekerja, yaitu mengolah brang yang
diterima dari pemilik barang
3.
Akad mudharabah
dilakukan oleh pemilik dengan mengelolah barang
4.
Mal, yaitu
harta pokok atau modal
5.
Amal, yaitu
pekerjaan pengelolaan harta sehingga meghasilkan laba
6.
Keuntungan
Menurut sayyid sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan Kabul yang
keluar dari orang yang memiliki keahlian.
Syarat-syarat
sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri,
syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut :
1)
Modal atau
barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai.
2)
Bagi orang yang
melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf.
3)
Modal harus
diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan
dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut akan dibagikan kepada dua
belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
4)
Keuntungan yag
telah menjadi milik pengelolah dan pemilik modal harus jelas persentasenya.
5)
Melafazkan ijab
dari pemilik modal.
6)
Mudharabah
bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelolah harta untuk berdagang
dengan negara tertentu.
D.
Kedudukan
Mudharabah
Hukum
mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka
kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudaharabah ( qiradh ) juga
tergantung pada keadaan. Karena pengelolah modal perdaganagn mengelolah modal
tersebut atas izin pemilim harta, maka pengelolah modal merupakan wakil pemilik
barang tersebut.dalm pengelolaannya dan kedudukan modal adalah sebagai
wikalah-alaih ( objek wakalah ).
Ditinjau
dari segi akad mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam
pengelolaaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati.
Karena bersama-sama dalam keuntungan, sehingga mudharabah dianggap sebagai
ijarah ( upah-mengupah atau sewa-menyewah ).
2.
Musaqah
A.
Pengertian
Musaqah
Menurut istilah
musaqah didefinisikan oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan Abdurrahman
al-jaziri, sebagai berikut :
1.
Menurut
Abdurrahman ialah akad untuk pemelihara pohon kurma, tanaman( pertanian ) dan
yang lainnya dengan syarat-syarat terntetu.
2.
Menurut
malikiyah, musaqah ialah sesuatu yang tumbuh di tanah
3.
Menurut
syafi’iyah musaqah ialah memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar,
dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram,
memelihara, dan menjaga dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang
dihasilkan pohon-pohon tersebut.
4.
Menurut
hanabilah, musaqah ialah mencakup dua masalah, yaitu
a)
Pemilik
menyerahkan tanah yang sudah ditanam, bagian dari buah pohon yang dimakan
sebagian terntentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya, setengahnya.
b)
Seseorang
menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, yang menanam akan
memperoleh bagaian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, maksudnya yang
kedua ini disebut munasabah muqharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan
pohon untuk ditanamkannya.
Setelah
diketahui definisi-definsi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat
disimpulkan al-musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memilihara
pohon, sebagai upahnya adalah buah yang urusnya.
B.
Dasar Hukum
Musaqah
Dalam menentukan keabsahan akad musāqah dari segi
syara’,terdapat perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail
mereka berpendirian bahwa akad al-musāqāh dengan ketentuan petani penggarap
mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena musāqāh
seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan
dipanen dari kebun itu.
Musāqāh juga didasarkan atas ijma’ (kesepakatan
para ulama), karena sudah merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh
umat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial
antara sesama manusia dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang
mampu. hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2.
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah
kepada hamba-hambanya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan
baik dan meninggalkan kemungkaran. Dengan wujud saling tolong-menolong orang
berilmu membantu orang dengan ilmunya, orang kaya membantu dengan kekayaannya.
Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan.
C.
Rukun dan
Syarat Musaqah
Rukun-rukun
musaqah menurut ulama syafi’iyah ada lima, yaitu :
1)
Sighat, yang
dilakukan kadang-kadang dengan jelasdan dengan samara. Diisayaratkan sighat
dengan lafazh dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
2)
Dua orang atau
pihak yang berakad, diisyaratkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli (
mampu ) untuk mengelolah akad, seperti baliqh, berakal, dan tidak berada di
bawah pengampun.
3)
Kebun dan semua
pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh daparohkan ( bagi hasil ),
baik yang berbuah tahunan mapun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati,
seperti padi, jagung.
4)
Masa kerja,
hendaklah ditentukan lama waktu yang kan dikerjakan perti satu tahun atau
sekurang-kurangnya menurut kebiasaan, dalam waktu tersebut tanaman atau pohon
yang diurus sudah berbuah, juga harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus
dilakukan oleh tukang kebun ialan menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang
akan menghambat keseburan buah.
5)
Buah, hendaklah
ditentukan bagian masing-masing ( yang punya kebun, dan bekerja di kebun
)seperti seperdua, sepertig, seperemapat, dan ukuran yang lainnya.
Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah: a) Kedua
belah pihak yang melakukan transaksi harus orang yang cakap bertindak hukum,
yakni dewasa (akil baligh) dan berakal. b)Objek musāqāh Objek musāqāh menurut
ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi,
menurut sebagian ulama Hanafiyah muta’akhkhirin menyatakan musāqāh juga berlaku
atas pohon yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa objek musāqāh adalah tanaman keras dan palawija,
seperti anggur, kurma, dan lain-lain, dengan dua syarat:
1) Akad dilakukan sebelum buah itu layak
dipanen;
2) Tenggang waktu yang ditentukan jelas;
3) Akadnya dilakukan setelah tanaman itu
tumbuh;
4) Pemilik perkebunan tidak mampu untuk
mengolah dan memelihara tanaman itu.
Objek
musāqāh menurut ulama Hanabilah bahwa musāqāh dimaksudkan pada pohon-pohon
berbuah yang dapat dimakan. Oleh sebab itu, musāqāh tidak berlaku terhadap
tanaman yang tidak memeiliki buah. Sedangkan ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa
yang boleh dijadikan obyek akad musāqāh adalah kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw
terhadap orang Khaibar.
c)
Hasil yang dihasilkan dari kebun itu merupakan
hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi
dua, tiga dan sebagainya.Shighat dapat dilakukan dengan jelas (shārih) dan
dengan samaran (kināyah). Disyariatkan shighāt dengan lāfaẓ dan tidak cukup
dengan perbuatan saja. Selain itu di dalam melakukan musāqāh disyaratkan terpenuhinya
hal-hal sebagai berikut:
1)
Bahwa pohon yang di-musāqāh kan diketahui
dengan jalan melihat, atau memperkenalkan sifat-sifat yang tidak bertentangan
dengan kenyataan pohonnya. Karena akad dinyatakan tidak sah, untuk sesuatu yang
tidak diketahui dengan jelas.
2)
Bahwa masa yang diperlukan itu diketahui dengan
jelas.Karena musāqāh adalah akad lazim yang menyerupai akad sewa-menyewa.
Dengan kejelasan ini akan tidak ada unsur gharār.
3)
Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa
menjelaskan masa lamanya, bukanlah merupakan syarat dalam musāqāh, tetapi
sunnah, yang berpendapat tidak diperlukannya syarat ini adalah hiriyah. Menurut
mazhab Hanafi bahwa manakala masa musāqāh telah berakhir sebelum masaknya buah,
pohon wajib ditinggalkan/dibiarkan ada di tangan penggarap, agar ia terus
menggarap (tetapi) tanpa imbalan, sampai pohon itu berbuah masak. Bahwa akad
itu dilangsungkan sebelum nampak baiknya buah/hasil. Karena dalam keadaan
seperti ini, pohon memerlukan penggarapan.
Adapun
sesudah kelihatan hasilnya, menurut sebagian Ahli Fiqih adalah bahwa musāqāh tidak
dibolehkan. Karena tidak lagj membutuhkan hal itu, kalaupun tetap dilangsungkan namanya ijarah (sewa-menyewa),
bukan lagi musāqāh Namun, ada pula yang membolehkannya sekalipun dalam keadaan
seperti ini. Sebab jika hal itu boleh berlangsung sebelum Allah menciptakan
buah, masa sesudah itu tentu lebih utama. Bahwa imbalan yang diterima oleh
penggarap berupa buah itu diketahui dengan jelas. Misalnya separuh atau
sepertiga. Kalau dalam perjanjian ini disyaratkan untuk si penggarap atau si
pemilik pohon mengambil hasil dari pohon-pohon tertentu saja, atau kadar tertentu,
maka musāqāh tidaksah. Apabila satu syarat dan syarat-syarat ini tidak
terpenuhi, akad dinyatakan fāsakh dan musāqāh menjadi fāsad.
3.
Muzara’ah dan
Mukhabarah
A.
Pengertian
muzara’ah
Menurut bahasa al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama
al-muzara’ah yang berarti ( melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal. Secara istilah
Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik tanah dengan
penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan
bersama, tetapi pada umumnya paroan sawah atau fifty-fifty untuk pemilik tanah
dan penggarap tanah.
Menurut Syekh
Muhammad Yusuf Qordhawi, Muzara’ah adalah pemilik tanah menyerahkan alat, benih
dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan
mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2 , 1/3 atau kurang atau
lebih menurut pesetujuan bersama. Dalam kitab al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan
bahwa sunah Rasul menunjukan dua hal tentang makna Muzara’ah yakni pertama;
kebolehan bermuamalah atas pohon kurma / diperbolehkan bertransaksi.
Atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya
pohon kurma telah ada baru kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk
dirawat sampai berbuah. Namun sebelumnya kedua belah pihak (pemilik kebun dan
pekerja) harus dulu bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian buah
untuk pemilik kebun sedang sebagian yang lain untuk pekerja. Kedua;
ketidakbolehan Muzara’ah dengan pembagian hasil 1/4 dan 1/3 atau sebagian
dengan sebagian. Maksudnya adalah menyerahkan tanah kosong dan tidak ada tanaman
didalamnya kemudian tanah itu ditanami tanaman oleh (penggarap) dengan tanaman
lain.
Menurut
istilah, muzara’ah dan mukhabarah didefinisikan oleh para ulama, seperti yang
dikemukakan oleh abd al-rahman al- jaziri, sebagai berikut :
1)
Menurut hanafiyah, muzara’ah ialah akad untuk
bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.
2)
Menurut hanabilah, muzara’ah ialah : pemilik tanah yang sebenar nya menyerahkan
tanah untuk di Tanami dan yang berkerja di beri bibit
3)
Menurut malikiah muzara’ah ialah : bersekutu
dalam akad dengan maksud menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan atau
barang berdagangan
4)
Menurut dhahir nash al-syafi’I berpendapat
bahwa mukharabah ialah menggarap atanah dengan apa yang dkeluarkan dari tanah
tersebut.
5)
Menurut syaikh irahim al-bajuri berpendapat
bahwa mukhabarah ialah sesungguhnya pemilik hanya menyerahakan tanah kepada
pekerja dan modal dari pengelolah.
Dan hasil definisi-definsi bahwa muzara’ah dan mukhabarah ada
kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan
muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan
tanahnya kepada orang lain untuk dikelolah. Perbedaannya ialah pada modal, bila
modal berasal dari pengelolah disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan
dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
B.
Dasar Hukum
Mukhabarah Dan Muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulam dalam menentaokan hukum mukharabah
dan muzara’ah adalah menurut syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah
beralasan dengan hadis. Menurut pengarang kitab al-minhaj bahwa mukharabah,
yaitu mengerjakan tanah ( menggarap ladang atau sawah ) dengan mengambil
sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak boleh pula
muzara’ah, yaitu pengolah tanah yang beberapa shahih, antara lain, tsabit ibn
dhahak , karena mengingat akibat buruk sering terjadi ketika berbuah.
C.
Rukun-rukun dan
syarat-syaratnya
Menurut hanafiyah , rukun muzara’ah
ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci ,
jumlah rukun-rukun muzara’ah menurut hanafiyah ada empat, yaitu :
1)
Tanah
2)
Perbuatan
pekerja
3)
Modal
4)
Alat-alat untuk
menanam
Syarat-syaratnya
ialah sebagai berikut :
1.
Syarat yang
bertalian dengan aqidain, yaitu harus berakal
2.
Syarat yang
berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja
yang akan ditanam.
3.
Hal yang
berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu :
a)
Bagian
masing-masing harus disebutkan jumlahnya(persentasenya ketika akad )
b)
Hasil adalah
milik bersama
c)
Bagian antara
amil dan malik adalah salah satu dari jenis barang yang sama.
d)
Bagian kedua
belah pihak sudah dapat diketahui
e)
Tidak
disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
4.
Hal yang
berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu a) tanah tersebut dapat
ditanami. b) tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5.
Hal yang
berkaitan dengan waktu, syaratnya adalah a) waktu yang telah ditentukan, b)
waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman.
Menutut
hanabilah rukun muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan Kabul,boleh dilakukan dengan
lafazh apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan Kabul dan bahkan muzara’ah
dilafazhkan dengan lafazh ijarah.
4.
Syirkah dalam
Islam
A. Pengertian
Syirkah
Pengertian syirkah dalam Islam Secara bahasa,
kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih hingga
tidak dapat dibedakan lagi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya.
Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan.
B. Rukun dan
Syarat Syirkah
Secara garis besar, terdapat tiga rukun syirkah
sebagai berikut. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Persyaratan orang
yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf
(pengelolaan harta). Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup
pekerjaan atau modal. Adapun persyaratan pekerjaan atau benda yang boleh
dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan
pengelolaannya dapat diwakilkan. Akad atau yang disebut juga dengan istilah
shigat. Adapun syarat sah akad harus berupa tasharruf, yaitu harus adanya
aktivitas pengelolaan.
C. Macam-Macam
Syirkah
Syirkah terbagi menjadi 4 macam, yaitu :
1) Syirkah ‘Inan Syirkah ‘inan adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal)
dan modal (mal). Syirkah dalam Islam hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan
ijma’ sahabat. Contoh syirkah ‘inan dapat kita cermati sebagai berikut :
Pengertian Syirkah dalam Islam Fahmi dan Syahmi adalah sarjana-sarjana teknik
informatika. Fahmi dan Syahmi bersepakat menjalankan bisnis jasa perancangan
dan pembangunan sistem informasi untuk organisasi-organisasi pemerintahan atau
swasta. Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar Rp20 juta dan
keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini,
modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara barang seperti rumah atau
kendaraan yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika
barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada
kesepakatan yang dilakukan sebelumnya dan kerugian ditanggung oleh
masing-masing syarik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing-masing
modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
2) Syirkah ‘Abdan Syirkah ‘abdan adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi
kerja (amal), tanpa memberikan kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu
dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) maupun kerja fisik (seperti
tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal. Contoh Syirkah ‘abdan :
Udin dan Imam sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari
ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan
dibagi dengan ketentuan: Udin mendapatkan sebesar 60% dan Imam sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian antara
keduanya, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri
atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan
yang dilakukan merupakan pekerjaan yang halal dan tidak boleh berupa pekerjaan
haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan
kesepakatan yang telah diatur sebelumnya, porsinya boleh sama atau tidak sama
di antara syarik (mitra usaha).
3) Syirkah Wujuh Syirkah wujuh merupakan kerja
sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh)
seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak
yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan adanya pihak ketiga
yang memberikan konstribusi modal (mal). Contoh Syirkah wujuh : Andri dan
Rangga adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu Andri dan Rangga bersyirkah
wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. Andri dan
Rangga bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli.
Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara
harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujuh ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah ‘abdan.
4)
Syirkah Mufawadhah Syirkah mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau
lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di atas.
Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis
syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang
diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi
modal jika berupa syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa
mufawadhah, atau ditanggung oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujuh. Contoh Syirkah
mufawadhah : Adha adalah pemodal, berkontribusi modal kepada Fahmi dan Syahmi.
Kemudian, Fahmi dan Syahmi juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada Fahmi dan Syahmi.
Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika
Fahmi dan Syahmi sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi
kerja saja. Namun, ketika Adha memberikan modal kepada Fahmi dan Syahmi,
berarti di antara mereka bertiga terwujud mudharabah.
Di sini
Adha sebagai pemodal, sedangkan Fahmi dan Syahmi sebagai pengelola. Ketika
Fahmi dan Syahmi sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di
samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inan di antara Fahmi dan
Syahmi. Ketika Fahmi dan Syahmi membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara
Fahmi dan Syahmi. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufawadhah.
BAB 111
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil pembahsan di atas,
menyatakan bahwa dalam fiqih muamalah menjelaskan tentang persoalan-persoalan
yang berkenan dengan hubungan manusia antarmanusia. Dan juga hukum jual beli
dan macam-macam jual beli, seperti, yaitu mudharabah,musaqah, muzara’ah
mukhabarah dan syirkah dalam islam.
Mudharabah
berasal dari kata al-dharab, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau
berjalan. Selain al- dharab disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardha ,
berarti al-qath’u ( potongan) karena pemilik memotong sebagian hartnya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Jadi menurut bahasa
mudharabah berarti ( potongan ), berjalan, dan berpergian.
dikemukakan
oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan al-musaqah ialah akad antara pemilik
dan pekerja untuk memilihara pohon, sebagai upahnya adalah buah yang urusnya.
Dan
hasil definisi-definsi bahwa muzara’ah dan mukhabarah ada kesamaan dan ada pula
perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada
peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain
untuk dikelolah. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari
pengelolah disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah
disebut muzara’ah.
Pengertian syirkah dalam Islam Secara bahasa,
kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih hingga
tidak dapat dibedakan lagi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya.
Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Kasmir ,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002
Suhendi Hendi,fiqh Muamalah, Jakarta :
Rajawali pers, 2014
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh
‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Beirut:
Darul Fikr,1996